POLEMIK & DILEMA

ANTARA UJIAN NASIONAL DENGAN PENGHAPUSAN UJIAN NASIONAL

Ujian nasional telah diberlakukan beberapa tahun yang lalu dengan berbagai ekses-eksesnya. Dari yang guru menjual bocoran jawaban, soal, membantu siswa dan sebagainya. Kepala sekolah yang membentuk tim sukses dan sebagainya. Yang ketahuan dianggap melanggar hokum kemudian dipidanakan. Ada alasan kuat mengapa mereka berbuat demikian. Dari alasana kasihan dengan siswa bila tidak lulus, alasan demi nama baik/citra sekolah hingga citra dinas pendidikan bahkan citra pemerintah daerah di sector pendidikan. Bila tingkat kelulusan rendah, seolah menjadi indicator kegagalan sector pendidikan di sekolah yang bersangkutan dan pemerintah daerah. Sementara standar nilai kelulusan terus merangkak naik, yang membuat peserta didik/siswa semakin depresi, mungkinkah aku lulus.

Salah satu ekses negative yang muncul antara lain, siswa yang tidak siap mental yang ternyata tidak lulus, akhirnya frustasi hingga melakukan tindakan di luar rasional, bunuh diri. Bukan Cuma satu atau dua kasus, banyak kasus dari tahun ke tahun terus meningkat. Sementara pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional tetap berkuat pada alasan bahwa ujian nasional sebagai alat ukur keberhasilan pendidikan nasional.

Di level masyarakat pengguna jasa pendidikan, merasa begitu berat beban pendidikan yang harus dialami, belum lagi masalah pemerataan pendidikan yang belum dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia, biaya pendidikan, fasilitas pendidikan dan lain-lain. Di level pengambil kebijakan yaitu pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, ujian nasional tetap penting untuk terus meningkatkan standar pendidikan, standar kualitas output pendidikan, standar sumber daya manusia yang berdaya saing, dan sederet argument rasional dan ilmiah yang bagi rakyat bawah tidak mampu untuk mengerti semuanya. Masyarakat bawah tahunya adalah bersekolah untuk jadi pintar, untuk dapat kerja, untuk dapat hidup lebih layak kalau tidak dikatakan sejahtera. Namun di awal langkah menuju ke arah itu, telah dihadapkan oleh berbelit-belitnya jalan (birokrasi) pendidikan dan persyaratan kelulusan.

Masih panjang cerita bila diungkap semua hal berkaitan dengan pandangan-pandangan tentang ujian nasional di masyarakat. Masih ingat ketika Indonesia memberlakukan EBTANAS. Penulis merasa tidak ada beban yang berlebihan dengan standar kelulusan. Tetapi lebih merasa beban (tanggung jawab pribadi) bila tidak memperoleh nilai tinggi, nanti tidak akan dapat berkompetisi di tingkat pendidikan lebih tinggi. Siapapun yang mengikuti ujian EBTANAS dan berapapun nilai yang diperoleh tidak “divonis” LULUS atau TIDAK LULUS. Semua tetap memperoleh DANEM (Daftar Nilai Ebtanas Murni) terlepas apakah murni atau tidak, yang pasti semua telah merasa senang dapat menempuh pendidikan. Untuk selanjutnya soal apakah dapat melanjutkan ke perguruan tinggi atau tidak, tergantung pihak Perguruan tinggi akan menetapkan nilai minimal berapa untuk dapat masuk ke perguruan tinggi tersebut. Apakah hasil UN benar-benar dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan pendidikan nasional? Itu pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Dalam pengukuran sampel mungkin dapat dilakukan, tetapi untuk populasi jelas tidak mungkin karena data pasti akan tidak 100% akurat.

Tinjauan dari praktisi pendidikan (guru) menjadi dualism. Di satu sisi melaksanakan tugas mengajar dan mendidik agar peserta didik memiliki wawasan keilmuan dan keterampilan yang memadai untuk hidup. Di sisi lain, ketika mengadapi ujian nasional, idealism mengajar dan mendidik akan dihadapkan pada kondisi yang dilematis, bertahan pada idealism pasti akan mujur atau hancur. Tidak bertahan pada idealism, apa kata orang, citra guru sebagai pendidik akan dipertanyakan. Sebagia guru saya justru prihatin, karena seolah berada di antara dua sisi yang bertolak belakang. Rasanya sulit untuk dapat menjalani dua sisi tersebut. Malah akan semakin gamang dalam mendedikasikan komitmennya sebagai pendidik dan pengajar.

Dengan demikian bukan hanya kepala sekolah dan pejabat pemerintah daerah saja yang akan “pening kepala” menghadapi ujian nasional. Siswa pening karena takut tidak lulus. Guru pening, karena apa artinya pendidikan selama ini yang telah dijalankannya, sementara ukuran keberhasilan hanya ditentukan dengan nilai tiga digit yang yang amat ditakuti siswa. Seolah guru menjadi alat semata-mata untuk memperoleh angka keberhasilan pendidikan melalui kelulusan nasional. Belum mencapai pada substansi sesungguhnya yaitu kualitas sumber daya manusia.

Wacana.

Saya berprofesi sebagai guru dan sekaligus sebagai masyarakat pengguna jasa pendidikan karena anak-anak saya juga bersekolah. Sementara saya merasa lebih pas bila kebijakan pendidikan kembali seperti saat diberlakukan EBTANAS. Tetap dilaksanakan ujian nasional, tetapi standar kelulusan tidak dipergunakan istilah LULUS atau TIDAK LULUS. Tetapi menggunakan statement KOMPETEN, BELUM KOMPETEN, atau TIDAK KOMPETEN. Sejalan dengan penerapan kurikulum KTSP yang akrab dengan istilah kompeten/kompetensi. Sehingga siswa tidak merasa terbebani dengan standar kelulusan angka tertentu. Tetapi berapapun nilai yang diperoleh, siswa akan masuk dalam salah satu di antara tiga kategori tersebut. Hal ini rasanya lebih adil dan proporsional. Biarkan public pengguna produk lembaga pendidikan yang akan memberikan penilaian apakah layak atau tidak layak untuk menempati pos pekerjaan atau pendidikan lanjutan. Dengan demikian ujian nasional dapat dikatakan sebatas mengukur dan melaporkan hasil pengukuran, tidak perlu sampai menetapkan vonis LULUS atau TIDAK LULUS. Dengan demikian tidak ada pihak yang perlu dipersalahkan, dan tidak ada pihak yang merasa bersalah manakala seluruh proses telah dijalankan sesuai POSnya. Sementara selama ini, semua pihak saling lempar kesalahan. Presiden menyalahkan menterinya, menterinya menyalahkan bupatinya, bupati menyalahkan kepala dinasnya, kepala dinas menyalahkan kepala sekolahnya, kepala sekolah marah dengan gurunya dan seterusnya guru marah kepada siswa. Akhirnya bukan pendidikan, tetapi entah apa namanya…….

Bagaimana menurut Anda?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOP (Standard Operation Procedure)

AKU BANGGA MENJADI GURU